Sejarah hadis prodifikasi: hadis pada periode rasul, sahabat dan tabi’in
  
 A.PENDAHULUHAN
          Hadis merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadis disini adalah sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-qur’an. Didalam ilmu hadis ini pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadis pada masa pra kodifikasi, keberadaan hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Perkembangan dan pengkondifikasian hadis dibagi menjadi 5 masa, yaitu masa Nabi Muhammad SAW, pada masa sahabat, Tabiin, dan periode setelah Tabi’Tabi’in, dan periode setelah Tabi’Tabi’in. Sajarah perodesasi penghimpunan hadis mengalami masa yang paling panjang dibandingkan dengan yang dialami oleh al-qur’an, yang hanya memerlukan waktu yang lebih pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan pengkodefikasian hadis memerlukan waktu sekitar tiga  abad. Dalam perjalananya banyak sekali pendapat-pendapat yang saling bertentangan mengenai penulisan hadis. Pada masa Nabi Muhammad, hadis belum di bukukan karena kekhawatiran akan adanya pencampuran antara al-qur’an dan hadis. Baru setelah pada masa Tabi’in barulah ada kebebasan mengenai penulisan hadis walaupun sebenarnya pada masa sahabat telah memperoleh untuk menuliskan hadis akan tetapi asih adanya pebatasan.berangkat dari realita kelamyang dihadapi oleh umat islam diperlukan perhatian besar dan penelitian lebih jauh terhadap historistas perjalanan hadis Nabi dengan mengandaikan validitas dan keotentikan sebuah hadis melalui pisau analisa rasio dan multi pendekatan. Dengan demikian, makna hadis dapat disibak dan dipahami sebagaimana adanya dan menjadi sebuah pedoman dan sumber petunjuk kedua setelah al-qur’an.

   
  B.HADIS PADA PERIODE RASUL
       Para sahabat rasul adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak bisa baca tulis namun demikian, mereka mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa. Semenjak jaman Jahiliah mereka biasa menghafal nasab/garis keturunan sampai nenek moyang mereka, riwayat-riwayat tentang kejadian yang mereka alami, dan bahkan mereka pun hafal syair-syair dan khitabah-khitabah yang pernah diucapkan. Dengan kekuatan hafalan bangsa Arab yang sedemikian rupa itu, seolah-olah Allah telah mempersiapkan mereka untuk mendukung datangnya kenabian Muhammad SAW. Rasul menyebarkan agama Islam kurang lebih selama 23 tahun, dan dari waktu yang sekian lama tersebut, beliau dengan segala pola prilakunya menjadi tumpuan perhatian dan panutan para sahabatnya.2 Memang para sahabat telah mengetahui bahwa disamping wahyu dari Allah (al-Quran) sebagai pedoman ajaran Islam yang Utama, juga ada pedoman ajaran Islam berikutnya yang juga menjadi tuntunan dan tolak ukur kehidupan mereka, yaitu hadis Nabi.3 Hal ini karena semenjak awal Nabi telah memberikan pengajaran-pengajaran kepada oara sahabatnya, bahkan beliau telah membentuk semacam majlis ilmiah di rumah Al- Arkom ibn Abd Manaf di Mekah yang terkenal dengan nama Dar al-Islam. Rasul adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah swt dan diperintahkan menyampaikannya kepada umat manusia, tetapi ketika wahyu yang turun kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang bersifat global maka diperlukan adanya penjelasan dari Rasul yang memerinci dan menafsirkan keglobalan tersebut. Penjelasan, perinciaan dan penafsiran Rasul terhadap keglobalan al- Quran itulah hadis. Dan karena al-Quran itu turun secara berangsur-angsur maka dapat dipastikan bahwa hadispun terbentuk senacara berangsur-angsur pula. Adapun pegangan para sahabat dalam menerima hadis dari Rasul adalah dengan kekuatan hafalan mereka, hal ini karena para sahabat yang pandai menulis sangat sedikit jumlahnya. Tetapi korisinalan hadis sangat dimungkinkan tetap terjaga karena bangsa Arab pada saat itu mempuntai kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga merupakan sesuatu hal yang mudah bagi mereka untuk menghafal hadis-hadis yang datang dari Rasul. Rasul adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah swt dan diperintahkan menyampaikannya kepada umat manusia, tetapi ketika wahyu yang turun kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang bersifat global maka diperlukan adanya penjelasan dari Rasul yang memerinci dan menafsirkan keglobalan tersebut. Penjelasan, perinciaan dan penafsiran Rasul terhadap keglobalan al- Quran itulah hadis. Dan karena al-Quran itu turun secara berangsur-angsur maka dapat dipastikan bahwa hadispun terbentuk senacara berangsur-angsur pula.[1] Ada tiga hal yang berkaitan dengan perkembangan syari'at pada priode ini, pertama adalah bahwa syariat diturunkan dalam bentuk global. Kedua dalam kerangka hukum ada yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi masyarakat13 ada pula yang disyariatkan tanpa didahului pertanyaan Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat al Baqoroh, Ali Imron, an-Nisa, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur, al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat aqidah, ahlak, sejarah, hukum, dan lain lain. Kekuasan tasyri'iyah (legislatif) pada masa itu dipegang oleh Nabi SAW sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum. Singkatnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa priode mekah adalah priode revolusi aqidah untuk mengubah sistim kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju pennghambaan kepada Allah SWT semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social, dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Sedangkan pada priode Madinah biasa disebut dengan priode revolusi sosial dan politik. Dimana pada priode ini turun ayat-ayat yang menerangkan. Pada masa sahabat, wilayah kekuasan islam bertambah luas. seiring dengan ini masalah sosial kemasarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak peleburan etnis dan berbagai macam kebudayaan. Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang aktual pada waktu itu, peran ijtihad dirasa sangat penting, karena tanpa ijtihad, akan banyak masalah yang tidak diketahui status hukumnya, sementara wahyu (al-Qur’an) dan hadits sudah terhenti. Diantara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad sesudah Rasulullah wafat, ialah Abu Bakar, Umar bin Khatob, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Muaz bin Jabal, Ibnu Abas, dan Ibnu Mas'ud. Sedangkan Ali bin Abi Thalib melakukan ijtihad dengan cara qiyas, yaitu mengqiaskan hukuman orang yang meminum khamer dengan hukuman orang yang melakukan qadf. Alasanya adalah bahwa seseorang yang yang mabuk karena meminum khamer akan mengigau, dan apabila ia mengigau maka ucapanya tidak bisa dikontrol, sehinga dapat menuduh orang berbuat berzina. Hukuman bagi pelaku qadf adalah delapan puluh kali dera. Oleh sebab itu hukuman bagi orang yang meminum khamer sama dengan hukuman menuduh zina. Pada masa tabi’in ada tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia islam tempat kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu irak, hijaz, dan Syria. Irak memiliki dua mazhab, yaitu mazhab basroh dan kufah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu madinah dan mekah. Sementara itu mazhab syiria kurang tercatat dalam buku teks (literatur) islam. Meskipun demikian, kecenderungan dari madzhab ini menurut madzhab hasan dapat diketahui secara otoritatif melalui tulisan-tulisan Abu Yusuf. Mesir tidak dimaksudkan kedalam peta madzhab-madzhab hukum masa ini, karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri. Sebagian ahli hukum di Mesir mengikuti pemikiran madzhab irak dan yang lainya mengikuti madzhab madinah. Hasil yang dicapai oleh ijtihad ulama tabi'in ini, meskipun [2]mereka mengikuti petunjuk dari cara ijtihad ulama sahabat, namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berbeda dengan apa yang berlaku pada waktu Nabi SAW Ali bin Abi Tholib dan sebagian ulama Sahabat menerima kesaksian anak-anak terhadap orang tua dan kesaksian orang tua terhadap anak. Tetapi Qadhi Syureih dan sebagian ulama tabi'in tidak menerima kesaksian seperti itu, karena persaksian tersebut mengandung unsur tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam kesaksiannya. [3] Terdapat pelbagai riwayat penulisan dokumen hadis pada masa kenabian yang tampak kontradikitif. Ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang mebolehkan untuk menuliskan hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan Hadis pada masa Rasul dan adapula sahabat yang meriwayatkan hadis yang mengindikasikan larangan penulisan hadis seperti telah disinggung di atas. Sehingga, para sarjana muslim protektor yang didasari oleh tendensi menyelamatkan keotentikan penulisan Alquran, cenderung berpendapat bahwa pada umumnya sahabat menahan diri dari melakukan penulisan hadis pada masa kenabian dan pemerintahan Khulafa al-Rasyidin. Hal tersebut karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Alquran dan sekaligus Sunnah (hadis). Akan tetapi keadaan yang demikian tidak berlangsung lama, karena illat larangan untuk menuliskan hadis secara bertahap hilang maka semakin banyak pula para sahabat yang membolehkan penulisan hadis. Abu Bakar as-Siddiq misalnya, adalah seorang sahabat yang berpendirian tidak menyebarluaskan hadis tertulis pada masyarakat awam dan membakar hadis-hadis sebagaimana diriwayatkan oleh anaknya Aisyah . Umar bin Khattab kemudian ditafsirkan sebagai cak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad Abduh |pelakon utama dan penting yang menyuarakan larangan penulisan hadis pada masa pemerintahannya. Arbott berasumsi bahwa laporan-laporan tentang Muhammad telah ditulis selama hidupnya, hanya saja, karena orang-orang muslim di berbagai negeri yang baru ditaklukkan diluar arab kurang mengenal Alquran, khalifah Umar bin Khattab merasa khawatir apabila perkembangan Islam mengalami nasib yang sama seperti perkembangan agama yahudi dan kristen, yakni adanya teks suci yang dapat menyaingi, pendistorsi atau mengubah Alquran.10 Baihaqi menukil bahwa Umar berkehendak untuk membukukan Sunnah Nabi kemudian ia bermusyawarah dengan para sahabat yang lain dan memutuskan agar segera dikodifikasi, Umar lantas beristikharah selama sebulan dan berkesimpulan untuk mengurungkan niatnya seraya berkata “ Dulu aku berkehendak untuk membukukan sunan (jamak sunnah Nabi) namun aku mengingat kaum-kaum sebelum kalian yang menulis beberapa kitab kemudian berpegang padanya dan meninggalkan kitabnya.11 Para sahabat lain yang juga melaksanakan larang penulisan pada masa-masa awal itu di antaranya, adalah Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abu Said Al-Khudri. Pada masa Nabi muncul penulis naskah yang kontraversial
dimana ia menuliskan dalam pendahuluannya : “ ini adalah kitab Muhammad utusan Allah untuk umat Islam dari bangsa Quraiys, penduduk medinah dan mereka yang mengikuti dan memperjuangkan ajarannya, bahwa mereka adalah umat yang satu tanpa bangsa lainnya “ dimana ia salah kaprah dalam memahami hadis Nabi yang mengatur hak-hak antara golongan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan menetapkan perjajian kedamaian antara penduduk islam dengan penduduk yahudi Madinah.16 Meskipun adanya riwayat pelarangan penulisan hadis pada masa Nabi dan masa sahabat namun para sahabat tetap berinisiatif untuk menuliskan beberapa hadis yang didengar dari Rasul. Muhammad Musthafa al-Azhami menghitung dan menyimpulkan bahwa ada 52 sahabat yang menuliskan hadis dan beberapa dari mereka yang mengumpulkannya dalam sebuah naskah dan beberapa dari tabiin sebelum periode kodifikasi pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.17 Mustafa al-Azhami lebih lanjut memaparkan isi hadis yang ditulis oleh para sahabat tersebut dalam kitabnya Dirasat fil Hadits nabawi wa tarikh tadwinihi. Namun Jabir bin Abdullah memimpin sebuah majlis dalam Masjid  Nabawi dimana ia mendiktekan dan mengajar hadis-hadis Nabi. Murid-murid jabir diantaranya : Wahab bin Munabbih, Abu Zubair, Abu Sufyan dan As-Sya’bi dan banyak meriwayatkan dari Shahifah milk Jabir.23 Beberapa dari hadis yang dimuat dalam Shahifahnya diabadikan dalam Musannaf milik Abdurrazzaq. Jabir bin Abdullah al-Anshari adalah seorang sahabat yang dikenal banyak meriwayatkan hadis dari Nabi. Beliau adalah ahli hukum dan menjabat sebagai mufti di Madinah pada masanya. Jabir termasuk dari sahabat yang diberi karunia umur panjang dan mengajarkan apa yang beliau dengar dan ia tulis dalam naskahnya. Terutama mengenai persoalan manasik haji yang kemudian diriwayatkan penuh oleh Imam Muslim.20 Murid Jabir bin Abdullah yang paling familiar adalah Qatadah. Beliau banyak meriwayatkan hadis dari naskah Jabir bin Abdullah, hal itu bisa dilihat dari pengakuan Qatadah sendiri dengan mengatakan “ Aku lebih banyak menghafal shahifah Jabir dibanding Surah al-Baqarah.”21 Dari ungkapan Qatadah, Justice Muhammad menyimpulkan bahwa Jabir memiliki dua nasNabi Muhammad merupakan teladan yang terbaik dalam proses penyampaian  dakwah. Di satu saat terkadang Nabi Muhammad menggunakan bahasa yang lugas dan tegas yang mungkin terkesan keras dalam proses penyampaian dakwah, di saat yang lain beliau juga pernah menggunakan pernyataan yang sepintas tidak lugas namun sarat akan bimbingan dan arahan yang mengantarkan kepada maksud dari pesan dakwah.kah yang meriwayatkan hadis dengan tema yang berbeda.[4] Kedua contoh prilaku Nabi Muhammad di atas akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Pada umumnya cara pandang di kalangan kaum muslimin terhadap dalil-dalil syariah adalah cara pandang atomistik yang memandang dalil-dalil agama sebagai serpihan-serpihan yang terpisah. Akan tetapi jika dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah dipahami sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, akan didapati suatu kesimpulan yang berbeda. empat puluh dari umur Nabi Muhammad. Dengan kata lain mengapa dakwah tidak dimulai sedini mungkin, mengingat kerusakan moral dan kejahiliahan masyarakat Arab pada saat itu sudah terlampau parah? Hal ini karena Nabi Muhammad sebagai juru dakwah memerlukan persiapan yang matang sebelum mengemban risalah kenabiannya. Hal ini adalah jawaban mengapa dakwah kenabian baru dimulai pada usia ke empat puluh dari umur Nabi Muhammad. Dengan kata lain mengapa dakwah tidak dimulai sedini mungkin, mengingat kerusakan moral dan kejahiliahan masyarakat Arab pada saat itu sudah terlampau parah? Hal ini karena Nabi Muhammad sebagai juru dakwah memerlukan persiapan yang matang sebelum mengemban risalah kenabiannya. Di samping itu, masyarakat Arab sebagai objek dakwah juga memerlukan persiapan tentang siapa figur yang akan menyampaikan pesan dakwah kepada mereka. Artinya masing-masing dari pihak yang menyampaikan pesan dan pihak yang menerima pesan harus berdiri di atas pijakan yang kuat agar proses penyampaian pesan berjalan efektif. Hal ini mempertegas fakta bahwa dakwah harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial dari lingkungan di mana dakwah tersebut dilakukan. impulan yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Pada umumnya cara pandang di kalangan kaum muslimin terhadap dalil-dalil syariah adalah cara pandang atomistik yang memandang dalil-dalil agama sebagai serpihan-serpihan yang terpisah. Akan tetapi jika dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah dipahami sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, akan didapati suatu kesimpulan yang berbeda. terjadi pada wanita kerabat dekat yang ia sayangi.2 Kedua hadis di atas memiliki pesan yang sama yaitu sama-sama menyatakan keharaman zina. Namun masing- masing dari kedua hadis tersebut memiliki kesan yang berbeda dalam proses penyampaiannya. ketika seorang pemuda datang kepada Nabi Muhammad seraya meminta izin untuk berzina, beliau tidak sama sekali mengancamnya dengan hukuman cambuk seratus kali. Beliau hanya menanyakan, “Senangkah anda jika ibu anda yang dizinahi orang lain? Senangkah anda jika adik perempuan anda yang dizinahi orang lain?”. Demikian Rasulullah hanya mengajukan pertanyaan yang maknanya mengajak berfikir pemuda tersebut jika seandainya praktek perzinaan tersebut.[5]

B.HADIS PADA PERIOADE SAHABAT
             Masa periode ketiga, masa ini merupakan masa setelah Nabi wafat, pada masa ini para sahabat tidak lagi dapat mendengar sabda Nabi Muhammad SAW, serta menyaksikan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi, sehingga informasi hadits hanya bisa diketahui melalui informasi sahabat. Atas hal tersebut, para sahabat pada masa ini mulai sadar untuk mengembangkan periwayatan hadis, bahkan para sahabat rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakan agama dan menyebarluaskan Islam. Periode ke empat yakni pada masa Khulafaur Rasyidin, dimana para sahabat masih fokus pada penyebaran al-Quran atau disebut dengan al-tatsabut wa al-iqlal min riwayah. Pada masa ini hadist masih terbatas, tetapi meskipun begitu para sahabat tetap memperketat dalam penerimaan hadist, karena pada dasarnya para sahabat sangat berhati-hati agar tidak terjadi kekeliruan periwayatan hadist dengan al-Quran. Hal tersebut merupakan perhatian langsung dari Khalifah Abu Bakr as-Shidiq, hingga dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib. Pasca masa Khulafaur Rasyidin, hadis sudah berkembang ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, seperti Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, Syam hingga Mesir, para tabi’in sudah mulai gencar untuk memeperluas hadits di beberapa tempat sehingga penyebaran hadits pada masa ini sudah sangat signifikan.8 Bahkan pada masa ini, puncaknya terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) masa dinasti Abbasiyyah dimana masa ini merupakan masa pengkodifikasian hadits, hal ini dilakukan karena khalifah Umar bin Abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya hadits, karena pada masa itu keadaan para generasi penerus tidak menaruh perhatian besar terhadap hadits. Periode ke empat yakni pada masa Khulafaur Rasyidin, dimana para sahabat masih fokus pada penyebaran al-Quran atau disebut dengan al-tatsabut wa al-iqlal min riwayah. Pada masa ini hadist masih terbatas, tetapi meskipun begitu para sahabat tetap memperketat dalam penerimaan hadist, karena pada dasarnya para sahabat sangat berhati-hati agar tidak terjadi kekeliruan periwayatan hadist dengan al-Quran. Hal tersebut merupakan perhatian langsung dari Khalifah Abu Bakr as-Shidiq, hingga dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin KhattSetelah Hadis selesai dikodifikasikan sejak abad ke II dibawah kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz, para ulama berupaya mengembangkan studi hadits dengan pola penyeleksian hadits, sehingga pada masa abad ke III menjelang abad ke IV hijriah, mulailah bermunculan beragam kitab hadits yang begitu luar biasa, seperti kitab Shahih al-Bukhori karya Imam Bukhori, Shahih Muslim karya Imam Muslim, dan beberapa kitab sunan, seperti Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ad-Darimi, Sunan Said Ibnu al-Manshur. [6]Masa ini merupakan masa kesungguhan dalam penyaringan hadits, dimana para ulama berhasil memisahkan hadits-hadits dhaif dari yangab, Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib. Bukti nyata berkembanya khazanah studi hadis pada masa ini juga nampaknya dibuktikan dengan geliat para ulama dalam melirik kembali kajian Hadits, Hal ini di tandai pada abad 17 M. Para ulama indonesia yang ber-notabenya berasal dari pesantren banyak yang mulai terpikat berangkat ke daerah Timur Tengah terutama kawasan Mekkah dan Madinah untuk belajar Hadis Nabi dari ulama-ulama Haramayn.27 Sebagaimana misalnya Mahfuzal-Tirmasi kalangan, yang tercatat sebagai salah seorang muhadits ketika belajar di Mekkah, serta terkenal sebagai ulama hadits di kawasan Timur Tengah karena geliatnya Melihat perkembangan hadits sendiri yang sekarang sudah ber-era digital maka sudah semestinya kita harus mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut sudah begitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini. Peran kita sebagai regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya guna mengembangkan hirroh kajian hadits menuju era ke-emasan. Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakanpenyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhati- hati dalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan.3 Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang isinya sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Setelah Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan praktiknya tentu saja memainkan peran yang penting dalam pembuatan keputusan dalam komunitas muslim awal, setidaknya di wilayah-wilayah di mana Nabi pernah mengekspresikan pandangan-pandangan yang diketahui secara umum. Selama masa kehidupan Nabi, sebagian pengikutnya meminta pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Al-Quran, ‘Wahai orang-orang beriman … patuhilah rasul (Muhammad)’, dan ‘Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat berkeinginan untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada umat Islam yang baru meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak semua sahabat nabi setuju dengan penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar dan Umar bin Khattab yang cenderung sangat membatasi penulisan hadis karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat dekat dengan nabi dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati demikian ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis rasulullah, dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa tabiin senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak pemalsuan hadis, maka penulisan hadis mulai dibutuhkan.[7]  Selain itu sikap para sahabat yang dangat berhati-hati dalam menerima dan mengamalkan setiap hadis Rasul saw. menyebabkan mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan uraian akan maksud hadis yang disabdakan oleh Baginda saw. Satu contoh hadis bagaimana para sahabat meminta penjelasan atas sabda Nabi, seperti diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dari Abî Hurayrah r.a. Sikap berhati-hati dalam menerima dan mengamalkan maksud yang sebenarnya akan sebuah hadis Nabi ini diteruskan oleh para sahabat. Perkembangan ini digalakkan lagi dengan pertanyaan para tabi'in tentang hal-hal yang berkembang pada zaman mereka. Hal ini dapat dilihat melalui penjelasan Ibn 'Umar tentang persoalan Yahyâ bin Ya'mar berkenaan dengan masalah al-qadr di dalam hadis Jibrîl yang cukup panjang. Seperti diriwayatkan oleh Imâm Muslim dari Yahyâ bin Ya'mar, yang maksudnya sebagai berikut: Kitab al-Risâlah karya Imâm al-Syafi'î umpamanya, tidak dikenal sebagai kitab hadis atau kitab uraian hadis. Walaupun demikian, di dalamnya memuat uraian-uraian terhadap maksud sebuah hadis yang sebenarnya. Begitu juga dengan penyusunan kitab-kitab hadis itu sendiri, seperti Shahîh al-Bukhârî, al-Muwattha', Sunan al-Tirmidzî dan Sunan Abî Dâwud, disusun berdasarkan pemahaman dan ijtihad fikih mereka.Hal ini dapat dilihat dengan jelas melalui penamaan dan penyusunan judul bab-bab yang dikemukakan. Secara tidak langsung mereka telah memberikan syarah terhadap hadis yang ditulis dalam kitab-kitab tersebut. [8]

  C.HADIS PADA PERIODE TABI’IN
      Umat Islam memberikan perhatian yang besar terhadap hadis Nabi bukan hanya dimulai pada zaman Tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melainkan sejak zaman Nabi. Kegiatan itu berjaln secara berkesinambungan hingga mencapai puncaknya pada masa tabi’in dan tabi al-tabi’in. Hal ini menjadi logis sebab para sahabat yang mengajarkan hadis, jumlahnya banyak dan masing-masing memiliki murid yang tidak sedikit. Karenanya sangat wajar bila pemerhati hadis pada masa tabi’in makin bertambah jumlahnya dibandingkan pada zaman sahabat. Jadi tidak benar sama sekali jika sekarang ada pendapat yang menyatakan bahwa apa yang sekarang dianggap hadis Nabi itu tidak lebih dari dongeng-domgeng semata. Sekiranya hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu terdapat hadis yang lemah, ataupun palsu, tidaklah berarti bahwa sesluruh hadis yang ada didalamnya juga palsu atau lemah. Kritik sanad dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan saja mengeritik para periwayatnya saja, melainkan juga persambungan sanadnya. Untuk meneliti persambungan sanad, salah saatu hal yang harus diperhatikan ialah bentuk tahamul wa’ada al- hadis yang termaktub dalam sanad itu. Selain itu, orang yang melakukan kritik tidak bisa sembarangan, tetapi harus memiliki syarat-syrat yang sah sebagai pengeritik.  Jadi cukup ketat tata-ketentuan yang berkenaan dengan kritik sanad tersebut. Pada dasarya hadis Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur'an dengan segala bentuknya sebagaimana dijelaskan diatas. Allah menetapkan hukum dalam al-Qur'an adalah untuk diamalkan. Karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang disyari'atkan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasan- penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang yang ditetapkan dalam al-Qur'an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat. Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur'an itu memiliki beberapa bentuk Nabi secara jelas dan terperinci sehingga tidak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam al-Qur'an beberapa hukum bersifat garis besar, namun dengan penjelasan Nabi secara rinci, lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu menjadi jelas. Penjelasan Nabi yang rinci itu dipahami baik oleh sahabat. Dalam hal ini tidak timbul perbedaan pendapat dalam memahami penjelasan tersebut. Dengan demikian penjelasan Nabi bersifat Qath'i. Penjelasan Nabi yang bersifat Qath'i itu berlaku dalam bidang akidah dan pokok-pokok ibadah seperti shalat, puasa zakat, dan ibadah haji. Dalam hal yang bersifat pokok ini, meskipun tidak ada penjealsan rinci dalam al-Qur'an namaun karena Nabi memberikan penjelasan secara Qath'i, maka tidak ada lagi kesamaran, dan karenanya tidak timbul perbedaan mendasar dikalangan ulama dalam hukumnya Mengenai kekuatan hadis sebagi sumber hukum ditentukan oleh dua segi, pertama dari segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan petunjuknya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan hadis mengikuti kebenaran pemberitaannya (wurudnya) yang terdiri tiga tingkat yaitu : mutawatir, masyhur dan ahadya Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Dalam penjelasan itu kelihatannya Nabi tidak memberikan penjelasan yang bersifat definitif filosofis, tetapi hanya dengan melakukan serangkaian perbuatan dengan cara yang mudah diikuti umatanya. Nabi memberikan pejelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata terdapat disekitar lingkungan kehidupan pada waktu itu. Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur'an mudah dimengerti dan diterima serta dijalankan oleh umat. [9] beberapa sahabat dan tabiin. Misalnya, ayahnya sendiri, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Ibnu Ja’far, Said bin Musayyib, Ibnu Farizh, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman,22 Ibnu Abi Salamah, Ibnu Salam, dan Saib bin Uhkt Namr, salah seorang sahabat yang diusap kepalanya dan melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah.23 Dalam hemat kami, pembentukan rasa cinta dan keinginan untuk mengkodifikasi hadis pada masa Umar II menjadi khalifah telah terbentuk ketika dia berada di Medinah, baik ketika belajar maupun ketika menjadi gubernur Medinah. Latar belakang kehidupan Umar II di Medinah kemudian inilah yang menurut kami membuat dirinya menginstruksikan pengumpulan hadis di masa kekhalifahannya. Sedangkan. Sedangkan murid-muridnya antara lain, Ibrahim bin Abi Ublah Syamr bin Yaqzan bin Umar bin Abdullah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Ishaq bin Rusyd, Ismail bin Abu Hakim, Ayyub bin Abu Tamimah Kaisan, Ja’far bin Barqan, Hamid bin Abu Hamid, Daud bin Abi Hindun, Yahya bin Atiq, Sahm bin Yazid, dan lain-lain.24 Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis nabi. Umar II sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis- hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Medinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi: Al-Zuhri pernah mengatakan, “Kami diperintahkan Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun hadis. Kami pun menuliskannya pada daftar demi daftar, lalu dikirim ke seluruh wilayah kekuasaan Islam masing-masing satu daftar.” Kata daftar di sini berarti kumpulan besar hadis. pada dasarnya naskah hadis yang telah ditulis oleh Al-Zuhri jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah: (a) Juz’ yang disampaikan secara munawalah kepada Ibn Juraij; (b) Shahifah yang diberikan kepada ‘Abd al- Rahman ibn ‘Amr al-Auza’i; (c) Nuskhah yang disimpan oleh ‘Abd al- Rahman ibn Namirah al-Yahsubiy; (d) Kitab besar yang disimpan oleh ‘Abd al-Rahman ibn Yazid; (e) Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang ditulis oleh Hasyim ibn Basyir dari Al-Zuhri; (f) Shahifah yang dimiliki oleh Sulaiman ibn Katsir; (g) Shahifah yang diserahkan kepada ‘Ubaidullah ibn ‘Amr untuk disalin dan diriwayatkan; (h) Nuskhah yang dimiliki oleh Zakariya ibn ‘Isa; (i) Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang khusus untuk Al-Zuhri sendiri; dan (j) Kitab yang disimpan oleh Ibrahim ibn al- Walid. [10] Sebuah pendekatan, paradigma atau perspektif yang berbeda tentu dapat akhirnya menghasilkan temua yang berbeda pula. Jika pendekatan tradisional tetap saja menegaskan kesahihan literatur hadis dan menganggapnya benar- benar bersumber dari nabi, sebaliknya pendekatan revisionis dengan caranya sendiri mencoba merevisi kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa kesahihan hadis perlu diragukan karena berdasarkan kajian mereka, hadis-hadis yangdiklain berasal dari nabi itu ternyata tidak terbukti secara historis. Pada dasarnya, hadis-hadis itu memang berasal dari periode Islam awal, yakni generasi sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin, tetapi tidak sampai kepada nabi. Lebih jauh lagi, hadis-hadis itu bahkan diklaim sebagai hasil gerakan pemalsuan dalam skala besar yang pernah terjadi dalam sejarah periwayatan hadis. Namun karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi muslin materi hadis itu berjalan pararel dan doktrin- doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka ia menyimpulkan bahwa sangat sulit menentukan hadis-hadis yang orisinal dari nabi. Sebagian materi hadis yang terdapat dalam koleksi hadis itu, menurutnya, merupakan hasi perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam dua abad pertama atau refleksi dari berbagai kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim selama masa-masa tersebut. Sebagai akibatnya, produk-produk kompilasi hadis yang ada dewasa ini tidak dapat dipercaya secara keseluruhannya sebagai sumber ajaran dan perilaku nabi sendiri.18 Gagasan Joseph Schacht tentang keaslian dan sumber hadis lebih tegas daripada pendapat Goldziher. Dalam The Origins, ia mengatakan bahwa isna memiliki kecenderungan untuk diproyeksikan ke belakang. Menurutnya, isna>d berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal seperti sahabat dan akhirnya kepada nabi.19 Perbaikan isna>d ini tentu saja paralel dengan perbaikan dan perkembangan matan hadis. Karena isna>d dan matan hadis merupakan rekayasa sebgai hasil dari pertentangan antara aliran fikih klasik dan alhi hadis, maka tak satu pun hadis nabi, lebih-lebih yang terkait dengan persoalan hukum, dapat dianggap sebagai hadis sahih.20 Dengan kata lain, hadis-hadis itu sebenarnya tidak bersumber dari nabi, tetapi dari periode yang relatif belakangan. Yang sering terjadi adalah bahwa kaitan bersama sebuah hadis adalah tabiin dan muridnya, tabiit tabiin. Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah seorang sahabat menjadi kaitan bersama. Kalau demikian, maka hadis itu sebenarnya tidak berasal, atau setidak-tidaknya secara historis belum terbukti, dari nabi tetapi berasal dan bersumber dari para tabiin dan tabiit tabiin.[11] Pada priode ini Alquran sudah dibukukan dan tersebar luas di kalangan umat Islam. Demikain pula hadis nabi kebanyakan telah dibukukan sejak awal abad ke-2 H. serta fatwa sahabat dan tabi’in juga telah dibukukan. Olehnya itu para imam Mujtahid pada priode ini ketika menghadapi berbagai permasalahan, maka dengan mudah mereka merujuk kepada Alquran dan Sunnah serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.19 Di antara ilmu-ilmu yang telah dibukukan dan sangat dibutuhkan fiqhi adalah tafsir dan sunnah Lalu pada masa tabi’in mereka meriwayatkan dari sahabat. Demikianlah setiap tingkatan meriwayatkan dari para pendahulunya dan menambahkan apa yang dihasilkan ijtihad mereka. Kemudian hal ini menyebabkan para ulama berorientasi pada pengumpulan tafsir dan setiap ulama pada masing-masing daerah mengumpulkan riwayat yang diketahui tokoh daerahnya, sebagaimana yang dilakukan penduduk Mekah terhadap tafsir Ibnu Abbas. Penduduk Kufah terhadap tafsir Ibnu Mas’ud. Pada masa Abbasyiah, para ulama mulai menyusun tafsir berdasarkan susunan ayat, diantaranya tafsir Ibnu Jurais, tafsir As-Sudiy, tafsir Muhammad bin Ishak dan sebagainya. Sayangnya tafsir tersebut tidak sampai kepada kita secara asli, namun isi kandungannya ditulis oleh Ibnu Jarir al-Tabari.21 Dalam kitabnya yang terkenal tafsir al-Thabari, merupakan satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu.22 Jadi pada periode ini pada dasarnya bukan hanya Alquran telah dibukukan akan tetapi tafsir-tafsir Alquran juga banyak telah dibukukan, hal ini memudahkan memahami sumber hukum. Karena diketahui juga bahwa pada masa Abbasyiah ilmu yang timbul dengan berbagai macamnya, seperti nahwu, sharaf, tarikh dan lainnya yang membantu memahami isi kandungan Alquran Pada periode ini muncul tokoh-tokoh yang memiliki bakat dan kemampuan yang didukung oleh situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum Islam semakin berkembang, seperti Abu Hanifah (150 H/767 M), Malik (179 H/798 M), Syafi’i (204 H/820 M), dan Ahmad bin Hanbal (241 H/955 M) serta sahabat mereka dan tokoh- tokoh lainnya yang semasa dengan mereka26. Keempat tokoh inilah yang besar pengaruhnya dalam periode ini. Dalam khasanah fiqhi dikenal empat mazhab yang sangat populer. Mazhab-mazhab itu lahir dari mujtahid-mujtahid besar pada priode ini. Mereka itu adalah Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafiah), Imam Malik (Mazhab Maliki), Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), dan Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali) Pemikiran Imam Malik dalam bidang hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, yaitu Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat. Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada sunnah- sunnah tersebut, kalau terjadi perbedaan satu sunnah dengan yang lainnya, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah.39 Imam Malik mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadis ahad, kalau terjadi perbedaan antara keduanya. Karena penduduk Madinah itu mewarisi apa yang mereka amalkan dari ulama salaf mereka, kemudian ulama salaf itu mewarisi dari para sahabat. Olehnya itu amalan penduduk Madinah lebih kuat daripada hadis ahad. Sedangkan Imam Syafi’i dan [12]sebagian dari imam mujtahid lainnya berbeda pendapatnya, karena sunnah itu kebanyakan dibawa oleh sebagian sahabat ke berbagai kota yang sudah ditaklukkan oleh umat Islam. Sunnah seluruhnya tidak terbatas pada amalan penduduk Madinah. Persyaratan penerimaan hadis bagi ahl-al sunnah salah satunya adalah, apakah perawinya adil dan dhabit (cermat) sampai ke akhir sanad tanpa adanya kelainan atau cacat, baik itu dari ahl al-bayt atau bukan. Sedangkan mazhab Syi’ah selalu mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh ahl al-bayt. Gradasi antara kecenderungan-kecenderungan inilah yang mengakibatkan timbulnya aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda, terutama di dalam detail-detail keputusan tertentu. Aliran-aliran pemikiran itu kemudian disebut dengan mazahib (tunggal: mazhab)30 yang berarti “arah”, “tata cara”, “aliran fikiran”.


DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Dosen Ilmu, Hadis Fakultas, and Ushuluddin Filsafat, ‘Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad Abduh | 63’, 6.1 (2015), 68–74
Filsafat, Jurusan Aqidah, Imam Malik, Imam Shafi, Imam Ahmad, and I Pendahuluan, ‘Sulesana  Volume 7 Nomor 2 Tahun 2012’, HUKUM ISLAM PADA MASA IMAM-IMAM MUJTAHID (101 H – 350 H / 750 M – 961 M), 7.2 (2012), 21–22
Hadis, Fungsi, Sebagai Sumber, and Hukum Islam, ‘Kedudukan Dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam Tasbih’, 14.3 (2010), 331–41
Jafar, Wahyu Abdul, ‘Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh’, IJTIHAD DALAM BENTANG SEJARAH PRAKODIFIKASI USHUL FIQH, 4.01 (2014), 50–56
Masrur, Ali, ‘Diskursus Metodologi Studi Hadis Kontemporer Analisa Komparatif Antara Pendekatan Tradisional Dan Pendekatan Revisionis’, 1.2 (2012), 237–49
Qudsy, Saifuddin Zuhri, ‘Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis’, UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT PENULISAN HADIS, XIV.2 (2013), 269–71
Rahman, Haidir, ‘Haidir Rahman Dakwah Pra- Kenabian…’, 11.2 (2018), 163–83
Rosyid, Asyhad Abdillah, and M Ag, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital) Asyhad Abdillah Rosyid, M.Ag.’, 2.1 (2008), 6–19
Sagir, Akhmad, ‘Perkembangan Syarah Hadis Dalam Tradisi Keilmuan Islam’, 9.2 (2010), 129–48
Zain, Lukman, ‘Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya, 2.1 (2014), 1–4




[1] Lukman Zain, ‘Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya, 2.1 (2014), hml1–4.


[3] Wahyu Abdul Jafar, ‘Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh’, IJTIHAD DALAM BENTANG SEJARAH PRAKODIFIKASI USHUL FIQH, 4.01 (2014),hlm 50–56.
[4] Muhammad Abduh and others, ‘Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad Abduh | 63’, 6.1 (2015),hlm 68–74.
[5] Haidir Rahman, ‘Haidir Rahman Dakwah Pra- Kenabian…’, 11.2 (2018),hlm 163–83.
[6] Asyhad Abdillah Rosyid and M Ag, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital) Asyhad Abdillah Rosyid, M.Ag.’, 2.1 (2008),hlm 6–19.
[7] Saifuddin Zuhri Qudsy, ‘Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis’, UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT PENULISAN HADIS, XIV.2 (2013),hlm 258–67.
[8] Akhmad Sagir, ‘Perkembangan Syarah Hadis Dalam Tradisi Keilmuan Islam’, 9.2 (2010)hlm, 129–48.
[9] Fungsi Hadis, Sebagai Sumber, and Hukum Islam, ‘Kedudukan Dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam Tasbih’, 14.3 (2010)hlm, 331–41.
[10] Qudsy.
[11] Ali Masrur, ‘Diskursus Metodologi Studi Hadis Kontemporer Analisa Komparatif Antara Pendekatan Tradisional Dan Pendekatan Revisionis’, 1.2 (2012), hlm237–49.
[12] Jurusan Aqidah Filsafat and others, ‘Sulesana  Volume 7 Nomor 2 Tahun 2012’, HUKUM ISLAM PADA MASA IMAM-IMAM MUJTAHID (101 H – 350 H / 750 M – 961 M), 7.2 (2012),hlm 21–22.

Komentar